Masa depan?

Di sela kegiatan santai mengamati dan membaca cerita banyak kawan di sebuah aplikasi pesan singkat, satu cerita milikmu mengundang untuk segera aku balas. Satu gambar di depan rumah milikmu, begitu perkiraanku, dengan sosok seorang lelaki tua sedang berdiri, memakai sarung dan berpakaian rapi, barangkali hendak pergi ke mushola menyelesaikan hajat wajib agama. Tulismu, “kangen motor-motoran beli galon (emot cinta)”.

Tak butuh tenaga banyak dan pikir panjang, kuberanikan diri, dan hanya itu modal utamaku, hanya itu. “Keliling banjarharjo”, balasku. “Denganmu (emot cinta), balasmu. Kita tentu paham, pertemanan kita sesederhana makan ikan asin yang, kita dapatkan dari Pak Iep selesai berperahu di waduk, dilengkapi sambal orek dan tempe goreng, tentu bersama teman lainnya. Masih ingatkah kau?

Itu masa lalu, dan mari lupakan. Bagaimana kalau soal masa depan? Satu pertanyaan itu membuatku terbelalak dan, entah mengapa sampai sekarang masih takut membincangkannya, terlebih dengan seorang perempuan. Masa depan begitu abstrak dalam benakku. Bagaimana mungkin, seandainya perjalanan hidupmu kau sampirkan di pundakku dengan gambaran yang tidak begitu jelas, abu-abu? Tidakkah kau juga takut berhayal soal masa depanmu? Terlebih jika itu harus bersamaku?

Aku masih menyandang gelar “pemuda desa tak kerja”, yang aku peroleh dari satu petikan lagu milik band Marjinal itu. Tidakkah kau juga paham bagaimana sulitnya mendapatkan pekerjaan di negara kita? Alih-alih menyejahterakan masyarakat luas, pemerintah kita justru memberikan karpet merah pendulang kekayaan untuk beberapa orang saja. Ironis. Jurang ketimpangan kekayaan “sengaja” digelar di tengah paham ekonomi pancasila, dengan “keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia” terbaca jelas dari sana.

Tidak, sebenarnya aku bekerja. Pandangan aku pengangguran dan tidak bekerja adalah bersumber dari orang-orang yang menganggap bahwa petani bukanlah sebuah pekerjaan, apalagi menjanjikan. Ya, aku petani. Aku bekerja sebagai petani. Kau tahu, hidup petani di negara agraris tidaklah menyenangkan. Kami tidak sejahtera. Tanah, sawah, ladang kami diserobot paksa hanya karena dalih pembangunan. Untuk kawasan industri, untuk jalan tol, untuk pabrik baja, pabrik semen, bendungan, tempat latihan militer, bandara, perumahan, dan masih banyak dalih pembangunan lain. Luasan tanah peruntukan sawah, ladang, kebun menjadi semakin sempit dan mengecil terus menerus setiap waktu.

Penyerobotan tanah, sawah, ladang—alat produksi kami, adalah salah satu dari jalinan dari apa yang disebut Marx sebagai “akumulasi primitif”. Di sisi lain, pembebasan kami dari alat produksi adalah agar kami menjual tenaga kerja kami kepada perusahaan dan pabrik-pabrik, karena hanya tenaga kerja yang kami miliki. Kami dipaksa pergi jauh dari tempat kami lahir dan tumbuh besar, dari desa kami. Tidakkah kau juga tahu, bahwa masyarakat Kendal sudah banyak menjadi masyarakat urban, dan menggadaikan tenaganya di tanah rantau, yang itu merupakan hal tak terpisahkan dari mode produksi kapitalisme? Adakah kau rela dan mau kalau aku menggadaikan tenagaku untuk bekerja di bawah pabrik, yang kita tahu ada ketidakadilan di dalamnya.

Aku coba gambarkan lebih jelas sedikit, agar kelak jika kau memilih bersanding dan hidup bersamaku, rasa kagetmu yang sebanding dengan harapan hidup bersamaku itu, bisa sedikit menurun dan tidak menciptakan penyesalan akut setelahnya. Begini, bekerja sebagai petani dipandang tidak memiliki masa depan baik. Penghasilan kami tidak menentu, banyak faktor jadi sebabnya. Panen dari sawah kami gunakan untuk bertahan hidup satu dua tahun ke depan, itu sudah cukup baik dan berlaku bagi petani yang punya sawah lumayan luas. Itu tidak berlaku untuk buruh tani, dan mereka bukanlah petani, karena mereka tidak punya alat produksi—sawah, kebun, ladang milik sendiri.

Ketimpangan kepemilikan lahan adalah faktor selanjutnya. Buruknya kualitas tanah karena penggunaan pestisida anorganik berlebihan, ketidakmenentuan musim karena perubahan iklim global, bibit tanaman hybrid dari pabrik adalah faktor-faktor lain yang memperparah kondisi sulitnya petani sejahtera. Masih inginkah hatimu kau tautkan menjadi bagian dari hidupku? Menjalani laku keseharian dan melawan segala bentuk penindasan dari sistem yang tidak pernah adil datang bergemuruh dari segala sisi hidup kita? Begitulah duniaku, adakah aku boleh tahu sedikit duniamu? Dunia yang kau takuti? Dunia yang kau bayangkan setiap saat sebelum matamu terpejam lelap jauh dalam tidurmu?

Di luar daripada itu semua, perangkat perasaan yang kita punya sebagai manusia, membuatku harus optimis dan percaya dengan terus berbaik sangka kepada takdir Tuhan—sebagai makhluk yang percaya atas ke-Esa-annya, bahwa jalan inilah yang betul-betul baik bagiku. Menikmati dan mengupayakan segala kemungkinan terbaik, termasuk jika harus hidup bersamamu.

Tahun Baru 2022? Resolusi?

Aku tidak tahu, apakah hal ini suatu hal yang baik atau buruk, benar ataupun salah. Tepat satu tahun lalu, menjelang tahun baru 2021, aku tidak memikirkan dan membuat resolusi apapun. Apakah di akhir tahun 2021, menuju pergantian tahun 2022, aku harus memikirkan dan membuat resolusi bagi kehidupanku ke depan? Aku juga tidak tahu. Namun, resolusi bagiku sama halnya dengan harapan. Sedang harapan, tak harus menunggu pergantian tahun pun, setiap hari bisa kupikirkan.

Atau barangkali, resolusi merupakan—atas tafsir serampanganku—sekumpulan harapan besar yang diinginkan terwujud pada kurun waktu seseorang membuat dan menentukan target sebuah resolusi. Perihal harapan-harapan setiap hari, barangkali itu merupakan harapan-harapan kecil. Jika kemudian kita tilik dan bandingkan, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), resolusi dinyatakan sebagai “sebuah keputusan atau kebulatan berupa permintaan atau tuntutan tentang suatu hal. Entah kecil ataupun besar, resolusi tetaplah resolusi!

Dalam bayang-bayang ingatan samarku, seorang kawan pernah menandai akun milikku dalam sebuah kiriman story Instagram menjelang pergantian tahun menuju 2020. Ia membagikan sebuah gambar dari sebuah akun, dengan gambar wajah seseorang sedang tersenyum, jari tangan simbol peace, tanda damai. Karl Marx namanya, seorang filsuf materialis-historis yang masyhur, peletak batu pertama filsafat sebagai jalan perubahan, bukan hanya angan-angan.

Dalam gambar, terdapat satu kalimat di bawah wajah Marx. Begini bunyinya:

2020 hanya ada dua arah perjuangan. Pertama, bersatu melawan kapitalisme. Kedua, bersatu merebut pacar orang.

Kita tahu, kapitalisme semakin kokoh dan mengaburkan diri dalam tubuh yang semakin abstrak. Terus menerus mentransformasi dirinya sampai merangsek masuk ke ruang lingkup dunia digital. Diberi tameng kokoh oleh negara rupa aparatus keamanan brengsek serta dilindungi undang-undang bangsat. Sedang pacar orang? Hasrat mencintai seorang perempuan saja sudah hilanh, apalagi merebut dan mendapatkan hatinya? Sulit terjadi. Akhirnya, sampai 2020 berakhir sekalipun, dua arah perjuangan sebagai wujud dari resolusi tak kunjung tercapai.

Dengan berbagai pertimbangan, tahun 2021 akhirnya dijalani dengan biasa saja, tanpa resolusi. Artinya, menurutku, kehidupan keseharian dijalani dengan biasa saja, tanpa harapan-harapan berlebihan yang bisa menimbulkan pesakitan dan mengganggu kesehatan tubuh dan mental. Hasilnya? Tidak begitu buruk. Studi yang (kalau boleh dikata) lumayan panjang, 5 tahun 1 bulan, bisa terselesaikan. Dan ini adalah pencapaian yang dahsyat, menurutku.

Menjelang 2022, malam ini, jika patut kiranya aku membuat satu resolusi. Maka, resolusi 2020 yang belum tercapai itu, harus kupikirkan kembali dan menjadi satu perjuangan yang perlu direfleksikan. Kapitalisme memperbudak dan membunuh banyak orang, merusak dan meluluhlantahkan alam serta lingkungan. Hukum besi kapitalisme; ekspansi, eksploitasi dan konsentrasi kapital masih menjadi alat penindas yang mengerikan. Kesemuanya harus dihancurkan.

Kepada negara, tak bisa lagi kita berharap. Negara malah menyediakan jalan tol bagi ekspansi dan konsentrasi kapitalisme. Kepada pacar orang, sama saja, kita tetap tak bisa berharap kapitalisme bisa hancur, apalagi menjadikan ia sebagai pacar. Aku rasa itu sulit. Berbagai alasan dasar tidak perlulah disebutkan; atau masih ada peluangkah (sesedikit ia sekalipun) untuk kita bisa berjalan berdua kembali? Kemudian bersama melawan kapitalisme dan negara?

Pergantian tahun tidak kemudian membuat negara berjalan berlandaskan kehendak dan mengedepankan kepentingan rakyat dan masyarakat. Bergantinya tahun, dalam otak negara adalah bergantinya wajah program, untuk tetap meningkatkan kekayaan beberapa orang, menghisap sumber daya alam, melanggengkan penindasan bagi masyarakatnya sendiri, dengan jalan kekerasan sekalipun.

Untuk menjalani hari-hari esok, mari, kita lalui keseharian 2022 dengan tetap santai saja, ngopi, udud, biasa-biasa saja, lakukan seadanya, tanpa harapan-harapan berlebihan, tetap membaca buku, diskusi, kerja-kerja intelektual, aksi-aksi, kerja serta refleksi. Refleksi menjadi penting, karena Paulo Freire pernah mengingatkan bahwa tanpa refleksi, kerja-kerja serta upaya transformasi sosial akan sangat berbahaya. Hidup yang biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda. Dan hanya hidup yang bisa biasa saja ini yang bisa aku syukuri.

Gambar diambil oleh seorang perempuan istimewa, Juli 2018

Akhirnya, selamat tahun baru 2022, Kamerad! Mari hidup biasa-biasa saja. Uwasuog.

Aku Takut

Jika boleh jujur, sampai sekarang, aku masih takut untuk sekadar bertanya kabarmu kepadamu. Mengirim pesan pertanyaan itu melalui aplikasi pesan singkat di gawai milikku. Akhirnya, sesekali hanya bisa kutilik profil tentangmu, tampak dirimu tersenyum disana. Semburat senyuman yang masih teramat sulit kulupakan, membekas, tak bisa hilang dari ingatan.

Senyuman khas itu, dulu, begitu sering menghiasi waktu saat masih bersamaku. Tak ada yang berubah dari senyum manis milikmu itu. Sedikitpun tak ada. Aku pun ragu, bagaimana bisa senyum indah itu melekat pada seseorang yang teramat tepat. Hanya saja, senyuman itu kini bukan lagi untukku. Aku hanya bisa memandang dari jauh, dari gambar milikmu. Aku tahu itu, dan aku takut.

Sesekali, kusentuh perlahan deretan huruf di keyboard yang menutupi lebih dari sepertiga seluruh layar gawaiku. Kurangkai huruf-huruf itu, selesai. Namun tak kunjung terkirim kalimat menyapa itu, karena aku masih takut. Kekuatan mendadak hilang jika dipertemukan dengan hal ihwal tentangmu.

Kolom pesan berakhir menjadi kosong kembali. Rangkaian kalimat tadi hilang, dan tersisa pesan-pesan lama darimu, atau dariku sebagai penanda, entah sudah berapa lama terakhir kali aku menyapamu. Kubaca kembali pesan-pesan itu, dan aku takut.

Aku sering tersenyum, terutama saat-saat video singkat yang kau unggah bertengger di pojok kiri salah satu aplikasi lainnya lagi. Biasanya, dirimu bersama teman-teman perempuanmu. Entah sekadar makan dan minum, atau sering kujumpai dirimu datang ke kedai kopi. Atau tak jarang bermain bersama mereka ke tempat-tempat wisata kesukaanmu. Aku hanya tahu, dari situ.

Dan, jika yang kau unggah kebersamaan dengan kekasihmu. Aku masih sanggup tersenyum, hanya saja, senyumku kali ini terasa getir. Dulu, kau pernah bilang, “…hanya perlu terbiasa”. Sudah kucoba, sejak saat ucapan itu keluar dari bibir manismu. Namun sayang, hasilnya sama. Jika kau pernah merasa, satu keadaan dimana gemetar merasuki tubuh dan hati pun sama gemetar, keadaan itu yang menimpaku saat-saat mengamati bahagiamu bersama kekasihmu. Aku takut.

Kau tahu teman dekatmu kan? Temanmu yang juga temanku. Tentu, dia lebih banyak tahu soal dirimu, daripada aku. Dengan begitu, kabar dan kesibukanmu hanya bisa kuperoleh dari temanmu yang juga temanku itu. Aku senang, karena kuperoleh informasi kabar terbarumu, kesibukan dan keadaanmu. Yang paling penting buatku, aku bisa tahu sedikit tentang dirimu.

Ada banyak kisah sebenarnya, yang ingin kubagikan dengan dirimu, tentu. Soal apapun itu, soal kejadian-kejadian yang kualami, sejak saat dirimu menghendaki berpisah denganku. Akupun sama, ingin mendengarkan ceritamu, keseharianmu. Tapi, yaaa, aku tahu itu sulit. Batas teritorial kehendak antara kita teramat tebal menutupi. Aku takut.

Kau tahu? Aku sering bermonolog, bercerita sendiri, tentang diri sendiri, kutimpali ceritaku yang satu dengan ceritaku satunya lagi, kumaki diriku saat-saat kuingat hal bodoh kulakukan. Sesekali diselingi tawaku, senyumku, dan itu semua kudengarkan ceritaku dengan telingaku sendiri. Aku menikmati itu. Aku takut.

Aku takut, kau tahu?

Sakit dan Penyakit

Parakan, Temanggung (01.03 WIB) – Jumat, 17 September 2021

Bahkan, kesehatan menjadi satu elemen yang terus menerus menduduki puncak harapan setiap masing-masing dari kita. Bahwa kita semua ingin hidup sehat, dengan jiwa serta raga yang sehat pula. Terbebas dari sakit. Keluarga kita sehat. Teman-teman kita sehat. Siapapun, hidup sehat.

Sehat, dalam KBBI online versi 5, diartikan sebagai baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit). Dan karena itu, lawan kata sehat adalah sakit. Ini tentang kesehatan badan. Baik dan normal, itu tentang kesehatan pikiran.

Masih ada lagi definisi sehat dalam KBBI yang disesuaikan dengan latar belakang sehat itu sendiri. Karenanya, sehat, bisa dilihat dari berbagai perspektif. Ada sehat perihal pendapat, usul, keuangan, bahkan sehat juga merangsek masuk dalam tubuh politik. Politik yang sehat, begitu mungkin kiranya.

Oleh para pembesar agama, sehat dan kesehatan banyak (dimanfaatkan?) menjadi satu bahan dakwah, serta ceramah. Ujungnya, tentang rasa syukur. Bagaimana kita bisa untuk terus mensyukuri satu nikmat rupa sehat? Mereka jagonya. Ooo tentu, dalil-dalil kitab suci mereka bawa sebagai penguat agar ceramah terlihat meyakinkan, seakan benar-benar atas perintah Tuhan.

Selain sakit, ada istilah lain, yakni penyakitan. Ia didefinisikan sebagai selalu sakit, selalu menderita penyakit. Penyakit-penyakit akut nan kronis melekat dan menubuh. Keseharian seorang penyakitan ada berteman dengan penyakit yang dideritanya.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan sakit sampai ke tubuh kita. Rutinitas keseharian, pola makan, sampai faktor eksternal dapat memengaruhi kesehatan. Jika bukan udara segar, melainkan polusi kendaraan yang masuk ke tubuh kita, maka paru-paru tidak bakal lagi sehat. Jika air yang kita konsumsi tercemari limbah industri, limbah pabrik; apapun itu, maka kesehatan tubuh juga bakal terganggu. Di negara Indonesia, rakyat miskin tidak boleh sakit!

Faktor usia juga berdampak besar. Semakin tua usia kita, semakin berkurang produktifitas organ-organ tubuh kita. Pun, tidak menutup kemungkinan jika orang-orang yang terbilang masih muda bakal terserang penyakit. Bahkan, penyakit bisa dimunculkan kepada seorang oleh seorang, kepada rakyat oleh negara, kepada masyarakat oleh korporat-korporat. Penyakit sengaja dituangkan di tengah-tengah masyarakat oleh negara, atas nama pembangunan, atas nama pertumbuhan ekonomi, atas nama penyerapan tenaga kerja.

Penyakit adalah oligarki-oligarki, yang dirawat negara untuk terus memperkaya diri, melebarkan jurang kemiskinan. Penyakit adalah anggota dewan yang tidur, yang membikin dan mengesahkan kebijakan undang-undang tidak pro rakyat, Omnibus Law misalnya. Penyakit adalah polisi, yang bertindak represif saat mahasiswa demo. Penyakit adakah tentara, yang mencaplok tanah rakyat. Penyakit adalah manusia, yang merendahkan manusia lain. Penyakit adalah orang-orang, yang menganggap sesat agama lain. Penyakit adalah negara itu sendiri.

Mencegah lebih baik daripada mengobati

Negara kita sakit, dan rakyat sengaja dibikin penyakitan. Sehat-sehat kalian semua, yang masih bertahan di tengah gempuran keadaan. Kita dipaksa sehat, di negara yang sakit.